Lutfi Yondri (koleksi pribadi)
Bandung, GATRAnews
- Studi arkeologi sesunguhnya tidak sebatas merekonstruksi peristiwa
masa lampau. Hendri Chambert Loir (1999) pernah mengemukakan
pemikirannya bahwa dalam paradigma terbaru, disiplin arkeologi dituntut
harus mampu memformulasikan hukum dan dinamika budaya dari masa ke masa.
Dalam hal ini, studi arkeologi diharapkan dapat menjadi salah satu
wahana pokok untuk menemukan peradaban yang mungkin telah terkubur
selama berabad-abad (
Kompas, 5 Februari 1999).
Gagasan seperti ini, jauh sebelumnya, yaitu pada 1960-an, sudah
dikemukakan oleh Sir Mortimer Wheeller dengan mengatakan bahwa apa yang
dikerjakan arkeologi itu dengan kalimat ''
we are not digging up things but people''.
Dalam hal melalui penggalian atau penelitian benda-benda budaya
tinggalan masyarakat masa lalu itu, para arkeolog (peneliti arkeologi)
berupaya memahami bagaimana kehidupan masyarakat masa lalu melalui
benda-benda tinggalan budaya masa lalu yang ditemukannya.
Berkaitan dengan permasalahan dewasa ini, tidak dapat dimungkiri
bahwa dari masyarakat dengan segala bentuk budaya yang mereka miliki
pada masa lalu, kita telah diwarisi berbagai benda tinggalan budaya
materi. Tinggalan budaya materi dari masa lalu tersebut di antaranya ada
yang disebut sebagai artefak, yaitu berupa benda yang dapat
dipindah-pindahkan, fitur, yaitu berupa struktur dan bangunan, ekofak
yang disebut juga sebagai benda-benda dari lingkungan yang memiliki
fungsi dalam kehidupan masyarakat masa lalu, atau juga berupa situs atau
lokasi tempat terdapatnya artefak, fitur dan ekofak, serta kawasan
yaitu tempat sejumlah situs berada.
Punden berundak Gunung Padang dalam kaitannya dengan bentuk-bentuk
budaya materi masa lalu dapat dikategorikan sebagai fitur karena
berbentuk struktur dan Gunung Padang-nya sendiri disebut sebagai situs.
Di antara tokoh ada yang meragukan punden berundak Gunung Padang
itu sebagai tinggalan budaya dari masa lalu, juga ada yang menyebutnya
sebagai satu tinggalan yang ''seksi'' karena mampu menyedot perhatian
orang. Juga ada kalangan yang kemudian seolah agak mengabaikan keberadan
punden berundak tersebut karena dianggap sebagai susunan batu yang
sengaja dibuat untuk menutupi satu tinggalan budaya yang jauh lebih
tinggi nilainya yang berada di bawahnya.
Tidak tanggung-tanggung berbagai dugaan dikemukakan akan ''sesuatu''
yang diperkirakan tertimbun di dalam Gunung Padang atau di bawah
struktur punden berundak Gunung Padang itu.
Ada isu yang tersebar dari mulut ke mulut bahwa di bawah punden
berundak Gunung Padang itu terdapat logam mulia ''emas'' dengan jumlah
yang sangat luar biasa besarnya. Begitu juga kalau kita simak berita
yang cukup gencar diekspos di media online, di antaranya dapat dibaca
tentang isu piramida, satu bangunan yang dibangun menggunakan semen
purba dengan pertanggalan 13.000 tahun sebelum masehi.
Bangunan berbentuk kujang, dan terakhir adalah isu tentang satu
bangunan yang sangat luar biasa fantastisnya, yaitu satu reaktor
hidroelektris dengan masa yang sangat fantastis tuanya, 23.000 tahun
sebelum masehi.
Semua isu yang disampaikan terhadap ''sesuatu'' yang ada di bawah
punden berundak Gunung Padang itu cukup lama menarik perhatian penulis
kemudian penulis mencoba menempatkan isu-isu tersebut ke dalam lintasan
perkembangan kebudayaan yang pernah ada di Nusantara, khususnya Tatar
Sunda.
Berdasarkan hasil kajian di lapangan maupun dari hasil kajian
kepustakaan yang penulis lakukan, ternyata hal itu sangat sulit untuk
dilakukan dan juga sangat sulit untuk membuktikannya karena tidak ada
satupun peninggalan budaya yang dapat digunakan untuk membuktikan
isu-isu tersebut.
Contoh yang dapat dikemukakan dalam hal ini adalah hasil penelitian
arkeologi penulis, yang kalau diukur jarak dalam garis lurus terletak
tidak begitu jauh dari punden berundak Gunung Padang, yaitu tinggalan
gua di kawasan karst Rajamandala.
Dari hasil penanggalan karbon (
carbon dating) terhadap
kehidupan manusia dan budaya yang pernah berlangsung pada masa lalu di
gua tersebut, umur paling tua adalah sekitar 9.500 BP dengan produk
budaya berupa alat tulang, alat serpih, sisa perhiasan dari kerang dan
taring binatang, batu pukul (perkutor) dari bahan andesit, dan manusia
masih hidup dengan pola hidup berburu dan mengumpulkan makanan.
Dari sisa-sisa makanan yang ditemukan berupa fragmen tulang binatang,
pengenalan api pada saat itu dapat disimpulkan belum menjadi bagian
dari pengolahan makanan.
Dalam hal ini tidak mungkin 23.000 tahun sebelum masehi manusia di
Tatar Sunda sudah membangun reaktor untuk pembangkit tenaga listrik atau
bangunan dengan semen purba, yang dikatakan, sengaja ditimbun dan
ditutupi dengan struktur punden berundak di atasnya untuk menutupi
kebesaran kebudayaan masa lalu yang pernah dimiliki oleh bangsa
Indonesia.
Dari kalangan ahli geologi, ''sesuatu'' di dalam Gunung Padang itu
disimpulkan merupakan sisa dari kegiatan gunung api purba yang pernah
ada di kawasan Gunung Padang itu jutaan tahun yang lalu.
***
Perhatian para ahli terhadap punden berundak Gunung Padang sebenarnya
bukanlah terjadi baru-baru saja (kemarin), melainkan sudah sejak
puluhan tahun yang lalu.
Pada 1914, situs punden berundak Gunung Padang sudah dicatat oleh N.J
Krom sebagai tinggalan budaya pra-sejarah. Sekian lama setelah itu,
baru kemudian pada 1979 situs ini dibicarakan kembali oleh para
peneliti, setelah situs ini ditemukan kembali oleh Bapak Endi, Soma, dan
Abidin berupa dinding tinggi dan susunan batu-batu berbentuk balok di
dalam semak belukar di bukit Gunung Padang.
Setelah hal itu mereka laporkan kepada Bapak Edi, penilik kebudayaan
Kecamatan Campaka yang kemudian bersama-sama R. Adang Suwanda, Kepala
Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur.
Sejak itulah kegiatan penelitian, pengamatan, pengukiran, dan pemetaan
dilakukan baik oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Sekarang Pusat
Arkeologi Nasional), dan Direktorat Perlindungan dan Pembinaan tinggalan
Sejarah dan Purbakala (sekarang Direktorat Cagar Budaya dan
Permuseuman) serta unit-unit pelaksana teknisnya yaitu Balai Arkeologi
Bandung dan Balai Cagar Budaya.
Di samping kedua lembaga ini, situs punden berundak Gunung Padang
juga menjadi sarana pembelajaran tidak hanya bagi kalangan mahasiswa
yang datang dari berbagai disiplin ilmu dari berbagai perguruan tinggi,
tetapi juga bagi para peserta didik dari tingkat yang paling rendah
sampai ke tingkat pendidikan menengah umum.
Sampai sekarang, tidak ada satu pun ahli yang membantah bahwa
punden berundak Gunung Padang ini sebagai produk budaya. Artinya punden
berundak itu memang dibuat atau disusun oleh satu kelompok masyarakat
pada masa lalu. Dalam dunia penelitian arkeologi, masyarakat yang
membangun punden berundak pada masa lalu adalah masyarakat pendukung
budaya megalitik.
Perkampungan megalitik di masa lalunya diperkirakan terletak di
daerah yang cukup sulit, yaitu di pegunungan atau perbukitan (Soejono
1984:196 - 201). Berbeda dengan masyarakat sekarang, kehidupan
masyarakat sangat bergantung pada faktor alam, serta terkait erat dengan
pemujaan arwah leluhur, di mana roh leluhur itu sangat dipercaya dapat
memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi yang hidup dan kesuburan
tanah (Asmar, 1975: 22-23).
Dalam kegiatan religi, berdasarkan bukti arkeologis, masyarakat
megalitik di masa lalu mendirikan monumen-monumen, baik untuk tempat
upacara maupun sebagai tanda penghormatan bagi para arwah leluhur.
Apabila diperhatikan beberapa diantara tinggalan monumen megalitik itu
berukuran sangat besar, luas, dan bahkan ada yang dibangun menggunakan
balok-balok batu yang memiliki berat ratusan ribuan kilogram.
Bila diukur dengan tenaga manusia biasa sangat sulit untuk
memindahkannya. Terlebih lagi lokasi pendirian momumen megalitik itu
seringkali berada di tempat-tempat yang tinggi, seperti puncak-puncak
bukit, dan lereng gunung, seperti hanya yang sekarang kita lihat pada
punden berundak Gunung Padang yang berada di bagian puncak bukit.
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang siapa dan bagaimana
masyarakat masa lalu membangun punden berundak itu. Haris Sukendar dalam
salah satu diskusi tentang punden berundak Gunung Padang pernah
mengemukakan pandangan tentang kemungkinan proses pendirian dan
pembangunan monumen megalitik tersebut.
Beliau mengatakan bahwa selain menggunakan teknik rekayasa penataan
batu yang sangat teliti, pembangunan punden berundak Gunung Padang juga
melibatkan tenaga manusia dalam jumlah ratusan atau ribuan manusia
(Sukendar, 1996: 112).
Penalaran yang demikian sangat sulit untuk dijelaskan karena melihat
proses perkembangan masyarakat khususnya masyarakat pendukung budaya
megalitik di masa lalu. Sebenarnya, untuk pengerahan manusia dalam
jumlah ratusan atau bahkan dalam jumlah ribuan agak sulit untuk
melacaknya. Dari hasil penelitian para ahli diasumsikan bahwa masyarakat
pendukung budaya megalitik merupakan kelompok masyarakat yang hidup dan
menetap di desa-desa kecil semacam perdukuhan (Soejono 1984: 201).
Dari sini dapat diperkirakan bahwa jumlah penduduk di satu
perkampungan megalitik tentunya tidak akan banyak, apalagi sampai
berjumlah ratusan maupun ribuan orang. Tentunya untuk melibatkan
masyarakat dalam jumlah ratusan atau ribuan tersebut di masa lalu
merupakan hal yang sulit.
Berkaitan dengan proses pendirian bangunan/monumen megalitik di
tengah perkampungan yang memiliki jumlah penduduk relatif kecil, tentu
di sinilah terdapatnya nilai-nilai luhur kemasyarakatan dan pengetahuan.
Dalam hal ini, sosok pemimpin masyarakat seperti apa yang dapat
memimpin masyarakat dalam mewujudkan punden berundak yang sebegitu
besarnya pada masa lalu, bagaimana hubungan dengan masyarakat yang
dipimpinnya, serta bagaimana hubungan antara masyarakat dalam usaha
mewujudkan bentuk punden berundak yang terdiri dari ribuan balok batu di
puncak Gunung Padang itu, di masa lalu.
***
Bila dibandingkan dengan keadaan masyarakat sekarang, di masa lalu
kompleksitas kehidupan masyarakat megalitik saat itu jauh lebih
sederhana. Kesederhaan itu terjadi karena tingkat keberagaman masyarakat
tidak sekompleks keadaan masyarakat sekarang ini. Akan tetapi,
bagaimana nilai kepemimpinan, memilih pemimpin atau pemimpin yang muncul
di tengah masyarakat, nilai kebersamaan yang berkembang saat itu dapat
dijadikan sebagai cermin dalam bermasyarakat dewasa ini.
Punden berundak Gunung Padang yang begitu besarnya, yang terdiri
dari ribuan balok batu andesit di masa lalu, dapat disimpulkan tidak
mungkin akan terwujud tanpa adanya seorang pemimpin kharismatik yang
memiliki hubungan sangat erat dengan masyarakat. Di samping itu hal ini
sangat didukung oleh adanya sikap musyawarah dan sikap gotong royong
yang mampu menghimpun segenap kekuatan masyarakat untuk mewujudkan
punden berundak Gunung Padang itu di masa lalu.
Dari ribuan balok batu andesit yang disediakan oleh alam di Gunung
Padang itu, masyarakatnya telah mahir memanfaatkan sumber daya batuan
yang ada, kemudian mereka pilih, mereka pilah, mereka susun sedemikian
rupa dengan teknik susun sangat arif akan keletakan tempat upacara di
puncak bukit yang rawan akan bahaya longsor, gelinciran, dan runtuhan.
Inilah harta karun tentang nilai kepemimpinan, hubungan antara
pemimpin dan masyarakat, antar masyarakat, dan nilai pengetahuan sangat
berharga yang tersimpan di balik punden berundak Gunung Padang. Mungkin
ini salah satu jati diri bangsa kita yang semakin hilang di tengah
kehidupan dewasa ini. Semoga hal ini dapat menjadi bahan cerita kepada
generasi bangsa yang berkunjung ke punden berundak Gunung Padang,
[
Lutfi Yondri, Arkeolog ]
[Rubrik
KOLOM, Majalah
GATRA Edisi no 10 tahun ke 26,
Beredar 9 Januari 2014]
Dapatkan edisi digital di toko-toko berikut ini
GATRAapps, Wayang Force, Scoop, Scanie, Indobook, Majalah Indonesia