Kamis, 06 Februari 2014

Lutfi Yondri: Harta Karun (?) di Balik Gunung Padang





                         Lutfi Yondri (koleksi pribadi)
Bandung, GATRAnews - Studi arkeologi sesunguhnya tidak sebatas merekonstruksi peristiwa masa lampau. Hendri Chambert Loir (1999) pernah mengemukakan pemikirannya bahwa dalam paradigma terbaru, disiplin arkeologi dituntut harus mampu memformulasikan hukum dan dinamika budaya dari masa ke masa. Dalam hal ini, studi arkeologi diharapkan dapat menjadi salah satu wahana pokok untuk menemukan peradaban yang mungkin telah terkubur selama berabad-abad (Kompas, 5 Februari 1999).
Gagasan seperti ini, jauh sebelumnya, yaitu pada 1960-an, sudah dikemukakan oleh Sir Mortimer Wheeller dengan mengatakan bahwa apa yang dikerjakan arkeologi itu dengan kalimat ''we are not digging up things but people''.

Dalam hal melalui penggalian atau penelitian benda-benda budaya tinggalan masyarakat masa lalu itu, para arkeolog (peneliti arkeologi) berupaya memahami bagaimana kehidupan masyarakat masa lalu melalui benda-benda tinggalan budaya masa lalu yang ditemukannya.

Berkaitan dengan permasalahan dewasa ini, tidak dapat dimungkiri bahwa dari masyarakat dengan segala bentuk budaya yang mereka miliki pada masa lalu, kita telah diwarisi berbagai benda tinggalan budaya materi. Tinggalan budaya materi dari masa lalu tersebut di antaranya ada yang disebut sebagai artefak, yaitu berupa benda yang dapat dipindah-pindahkan, fitur, yaitu berupa struktur dan bangunan, ekofak yang disebut juga sebagai benda-benda dari lingkungan yang memiliki fungsi dalam kehidupan masyarakat masa lalu, atau juga berupa situs atau lokasi tempat terdapatnya artefak, fitur dan ekofak, serta kawasan yaitu tempat sejumlah situs berada.

Punden berundak Gunung Padang dalam kaitannya dengan bentuk-bentuk budaya materi masa lalu dapat dikategorikan sebagai fitur karena berbentuk struktur dan Gunung Padang-nya sendiri disebut sebagai situs.

Di antara tokoh ada yang meragukan punden berundak Gunung Padang itu sebagai tinggalan budaya dari masa lalu, juga ada yang menyebutnya sebagai satu tinggalan yang ''seksi'' karena mampu menyedot perhatian orang. Juga ada kalangan yang kemudian seolah agak mengabaikan keberadan punden berundak tersebut karena dianggap sebagai susunan batu yang sengaja dibuat untuk menutupi satu tinggalan budaya yang jauh lebih tinggi nilainya yang berada di bawahnya.

Tidak tanggung-tanggung berbagai dugaan dikemukakan akan ''sesuatu'' yang diperkirakan tertimbun di dalam Gunung Padang atau di bawah struktur punden berundak Gunung Padang itu.
Ada isu yang tersebar dari mulut ke mulut bahwa di bawah punden berundak Gunung Padang itu terdapat logam mulia ''emas'' dengan jumlah yang sangat luar biasa besarnya. Begitu juga kalau kita simak berita yang cukup gencar diekspos di media online, di antaranya dapat dibaca tentang isu piramida, satu bangunan yang dibangun menggunakan semen purba dengan pertanggalan 13.000 tahun sebelum masehi.

Bangunan berbentuk kujang, dan terakhir adalah isu tentang satu bangunan yang sangat luar biasa fantastisnya, yaitu satu reaktor hidroelektris dengan masa yang sangat fantastis tuanya, 23.000 tahun sebelum masehi.

Semua isu yang disampaikan terhadap ''sesuatu'' yang ada di bawah punden berundak Gunung Padang itu cukup lama menarik perhatian penulis kemudian penulis mencoba menempatkan isu-isu tersebut ke dalam lintasan perkembangan kebudayaan yang pernah ada di Nusantara, khususnya Tatar Sunda.

Berdasarkan hasil kajian di lapangan maupun dari hasil kajian kepustakaan yang penulis lakukan, ternyata hal itu sangat sulit untuk dilakukan dan juga sangat sulit untuk membuktikannya karena tidak ada satupun peninggalan budaya yang dapat digunakan untuk membuktikan isu-isu tersebut.

Contoh yang dapat dikemukakan dalam hal ini adalah hasil penelitian arkeologi penulis, yang kalau diukur jarak dalam garis lurus terletak tidak begitu jauh dari punden berundak Gunung Padang, yaitu tinggalan gua di kawasan karst Rajamandala.



Dari hasil penanggalan karbon (carbon dating) terhadap kehidupan manusia dan budaya yang pernah berlangsung pada masa lalu di gua tersebut, umur paling tua adalah sekitar 9.500 BP dengan produk budaya berupa alat tulang, alat serpih, sisa perhiasan dari kerang dan taring binatang, batu pukul (perkutor) dari bahan andesit, dan manusia masih hidup dengan pola hidup berburu dan mengumpulkan makanan.
Dari sisa-sisa makanan yang ditemukan berupa fragmen tulang binatang, pengenalan api pada saat itu dapat disimpulkan belum menjadi bagian dari pengolahan makanan.

Dalam hal ini tidak mungkin 23.000 tahun sebelum masehi manusia di Tatar Sunda sudah membangun reaktor untuk pembangkit tenaga listrik atau bangunan dengan semen purba, yang dikatakan, sengaja ditimbun dan ditutupi dengan struktur punden berundak di atasnya untuk menutupi kebesaran kebudayaan masa lalu yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Dari kalangan ahli geologi, ''sesuatu'' di dalam Gunung Padang itu disimpulkan merupakan sisa dari kegiatan gunung api purba yang pernah ada di kawasan Gunung Padang itu jutaan tahun yang lalu.

***

Perhatian para ahli terhadap punden berundak Gunung Padang sebenarnya bukanlah terjadi baru-baru saja (kemarin), melainkan sudah sejak puluhan tahun yang lalu.
Pada 1914, situs punden berundak Gunung Padang sudah dicatat oleh N.J Krom sebagai tinggalan budaya pra-sejarah. Sekian lama setelah itu, baru kemudian pada 1979 situs ini dibicarakan kembali oleh para peneliti, setelah situs ini ditemukan kembali oleh Bapak Endi, Soma, dan Abidin berupa dinding tinggi dan susunan batu-batu berbentuk balok di dalam semak belukar di bukit Gunung Padang.
Setelah hal itu mereka laporkan kepada Bapak Edi, penilik kebudayaan Kecamatan Campaka yang kemudian bersama-sama R. Adang Suwanda, Kepala Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur. Sejak itulah kegiatan penelitian, pengamatan, pengukiran, dan pemetaan dilakukan baik oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Sekarang Pusat Arkeologi Nasional), dan Direktorat Perlindungan dan Pembinaan tinggalan Sejarah dan Purbakala (sekarang Direktorat Cagar Budaya dan Permuseuman) serta unit-unit pelaksana teknisnya yaitu Balai Arkeologi Bandung dan Balai Cagar Budaya.

Di samping kedua lembaga ini, situs punden berundak Gunung Padang juga menjadi sarana pembelajaran tidak hanya bagi kalangan mahasiswa yang datang dari berbagai disiplin ilmu dari berbagai perguruan tinggi, tetapi juga bagi para peserta didik dari tingkat yang paling rendah sampai ke tingkat pendidikan menengah umum.

Sampai sekarang, tidak ada satu pun ahli yang membantah bahwa punden berundak Gunung Padang ini sebagai produk budaya. Artinya punden berundak itu memang dibuat atau disusun oleh satu kelompok masyarakat pada masa lalu. Dalam dunia penelitian arkeologi, masyarakat yang membangun punden berundak pada masa lalu adalah masyarakat pendukung budaya megalitik.

Perkampungan megalitik di masa lalunya diperkirakan terletak di daerah yang cukup sulit, yaitu di pegunungan atau perbukitan (Soejono 1984:196 - 201). Berbeda dengan masyarakat sekarang, kehidupan masyarakat sangat bergantung pada faktor alam, serta terkait erat dengan pemujaan arwah leluhur, di mana roh leluhur itu sangat dipercaya dapat memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi yang hidup dan kesuburan tanah (Asmar, 1975: 22-23).

Dalam kegiatan religi, berdasarkan bukti arkeologis, masyarakat megalitik di masa lalu mendirikan monumen-monumen, baik untuk tempat upacara maupun sebagai tanda penghormatan bagi para arwah leluhur. Apabila diperhatikan beberapa diantara tinggalan monumen megalitik itu berukuran sangat besar, luas, dan bahkan ada yang dibangun menggunakan balok-balok batu yang memiliki berat ratusan ribuan kilogram.

Bila diukur dengan tenaga manusia biasa sangat sulit untuk memindahkannya. Terlebih lagi lokasi pendirian momumen megalitik itu seringkali berada di tempat-tempat yang tinggi, seperti puncak-puncak bukit, dan lereng gunung, seperti hanya yang sekarang kita lihat pada punden berundak Gunung Padang yang berada di bagian puncak bukit.

Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang siapa dan bagaimana masyarakat masa lalu membangun punden berundak itu. Haris Sukendar dalam salah satu diskusi tentang punden berundak Gunung Padang pernah mengemukakan pandangan tentang kemungkinan proses pendirian dan pembangunan monumen megalitik tersebut.

Beliau mengatakan bahwa selain menggunakan teknik rekayasa penataan batu yang sangat teliti, pembangunan punden berundak Gunung Padang juga melibatkan tenaga manusia dalam jumlah ratusan atau ribuan manusia (Sukendar, 1996: 112).
Penalaran yang demikian sangat sulit untuk dijelaskan karena melihat proses perkembangan masyarakat khususnya masyarakat pendukung budaya megalitik di masa lalu. Sebenarnya, untuk pengerahan manusia dalam jumlah ratusan atau bahkan dalam jumlah ribuan agak sulit untuk melacaknya. Dari hasil penelitian para ahli diasumsikan bahwa masyarakat pendukung budaya megalitik merupakan kelompok masyarakat yang hidup dan menetap di desa-desa kecil semacam perdukuhan (Soejono 1984: 201).

Dari sini dapat diperkirakan bahwa jumlah penduduk di satu perkampungan megalitik tentunya tidak akan banyak, apalagi sampai berjumlah ratusan maupun ribuan orang. Tentunya untuk melibatkan masyarakat dalam jumlah ratusan atau ribuan tersebut di masa lalu merupakan hal yang sulit.

Berkaitan dengan proses pendirian bangunan/monumen megalitik di tengah perkampungan yang memiliki jumlah penduduk relatif kecil, tentu di sinilah terdapatnya nilai-nilai luhur kemasyarakatan dan pengetahuan.

Dalam hal ini, sosok pemimpin masyarakat seperti apa yang dapat memimpin masyarakat dalam mewujudkan punden berundak yang sebegitu besarnya pada masa lalu, bagaimana hubungan dengan masyarakat yang dipimpinnya, serta bagaimana hubungan antara masyarakat dalam usaha mewujudkan bentuk punden berundak yang terdiri dari ribuan balok batu di puncak Gunung Padang itu, di masa lalu.

***

Bila dibandingkan dengan keadaan masyarakat sekarang, di masa lalu kompleksitas kehidupan masyarakat megalitik saat itu jauh lebih sederhana. Kesederhaan itu terjadi karena tingkat keberagaman masyarakat tidak sekompleks keadaan masyarakat sekarang ini. Akan tetapi, bagaimana nilai kepemimpinan, memilih pemimpin atau pemimpin yang muncul di tengah masyarakat, nilai kebersamaan yang berkembang saat itu dapat dijadikan sebagai cermin dalam bermasyarakat dewasa ini.

Punden berundak Gunung Padang yang begitu besarnya, yang terdiri dari ribuan balok batu andesit di masa lalu, dapat disimpulkan tidak mungkin akan terwujud tanpa adanya seorang pemimpin kharismatik yang memiliki hubungan sangat erat dengan masyarakat. Di samping itu hal ini sangat didukung oleh adanya sikap musyawarah dan sikap gotong royong yang mampu menghimpun segenap kekuatan masyarakat untuk mewujudkan punden berundak Gunung Padang itu di masa lalu.

Dari ribuan balok batu andesit yang disediakan oleh alam di Gunung Padang itu, masyarakatnya telah mahir memanfaatkan sumber daya batuan yang ada, kemudian mereka pilih, mereka pilah, mereka susun sedemikian rupa dengan teknik susun sangat arif akan keletakan tempat upacara di puncak bukit yang rawan akan bahaya longsor, gelinciran, dan runtuhan.
Inilah harta karun tentang nilai kepemimpinan, hubungan antara pemimpin dan masyarakat, antar masyarakat, dan nilai pengetahuan sangat berharga yang tersimpan di balik punden berundak Gunung Padang. Mungkin ini salah satu jati diri bangsa kita yang semakin hilang di tengah kehidupan dewasa ini. Semoga hal ini dapat menjadi bahan cerita kepada generasi bangsa yang berkunjung ke punden berundak Gunung Padang,

[Lutfi Yondri, Arkeolog ]
[Rubrik KOLOM, Majalah GATRA Edisi no 10 tahun ke 26, Beredar 9 Januari 2014]
Dapatkan edisi digital di toko-toko berikut ini
GATRAapps, Wayang Force, Scoop, Scanie, Indobook, Majalah Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar